A.
PERSEPSI SOSIAL
Pengertian
dan Proses Persepsi Sosial
Persepsi merupakan suatu proses yang
diawali dengan penginderaan. Penginderaan merupakan suatu proses ketika
seseorang menerima suatu stimulus melalui alat penerima (alat indera). Namun
proses tersebut masih berlanjut, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh
syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan
proses persepsi. Oleh karena itu, proses persepsi tidak dapat lepas dari proses
penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses yang mendahului
terjadinya persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu
individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat
indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya.
Moskowitz & Orgel berpendapat bahwa Persepsi merupakan
proses pengorganisasian penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh
organisme atau individu sehingga merupakin sesuatu yang berarti dan merupakan
aktivitas yang integret dalam diri individu.
Menurut Davidoff Persepsi merupakan proses
pengorganisasian dan menginterpretasikan terhadap stimulus oleh organisme atau
individu sehingga didapat sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang
terintegrasi dalam diri individu.
Menurut Gibson Persepsi sebagai suatu proses
pengenalan maupun proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh individu.
Jadi dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa persepsi sosial adalah proses
menangkap arti objek-objek sosial dan kejadian-kejadian yang dialami dalam
lingkungan kita. Persepsi manusia terhadap seseorang objek, atau kejadian dan
reaksi mereka terhadap hal-hal itu berdasarkan pengalaman (dan pembelajaran)
masa lalu mereka berkaitan dengan orang, objek, atau kejadian serupa. Persepsi sosial adalah proses yang
dialami seseorang untuk mengetahui dan memahami orang-orang lain.
Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa
individu dapat mempunyai persepsi sosial yang sama dan juga ada kemungkinan
mempunyai persepsi sosial yang berbeda tentang stimulus yang ada
dilingkungannya. Hal ini disebabkan antara lain oleh pengaruh sosial budaya
dari lingkungan individu, objek yang dipersepsi, motiv individu, dan
kepribadian individu.
Persepsi sosial juga dianggap sebagai bagian dari kognisi
sosial, yaitu pembentukan kesan-kesan tentang karakteristik-karakteristik orang
lain. Kesan yang diperoleh tentang orang lain tersebut biasanya didasarkan pada
tiga dimensi persepsi, yaitu :
1.
Dimensi
evaluasi yaitu penilaian untuk memutuskan sifat baik buruk, disukai-tidak
disukai, positif-negatif pada orang lain.
2.
Dimensi
potensi yaitu kualitas dari orang sebagai stimulus yang diamati (kuat-lemah,
sering-jarang, jelas-tidak jelas).
3.
Dimensi
aktivitas yaitu sifat aktif atau pasifnya orang sebagai stimulus yang diamati.
Berdasarkan
tiga dimensi tersebut, maka persepsi sosial didasarkan pada dimensi evaluatif,
yaitu untuk menilai orang. Penilaian ini akan menjadi penentu untuk berinteraksi
dengan orang selanjutnya. Artinya, persepsi sosial timbul karena adanya
kebutuhan untuk mengerti dan meramalkan orang lain. Maka dalam persepsi sosial
tercakup tiga hal yang saling berkaitan, yaitu :
1.
Aksi
orang lain, yaitu tindakan individu yang berdasarkan pemahaman tentang orang
lain yang dinamis, aktif dan independen.
2.
Reaksi
orang lain, merupakan aksi individu menghasilkan reaksi dari individu, karena
aksi individu dan orang lain tidak terpisah. Pemahaman individu dan cara
pendekatannya terhadap orang lain mempengaruhi perilaku orang lain itu sehingga
timbul reaksi.
3.
Interaksi
dengan orang lain, yaitu reaksi dari orang lain mempengaruhi reaksi balik yang
akan muncul. Dalam usaha menginterpretasi orang lain sering digunakan
dimensi-dimensi tertentu.
Brems
& Kassin (dalam Lestari, 1999) mengatakan bahwa persepsi sosial memiliki
beberapa elemen, yaitu:
a.
Person,
yaitu orang yang menilai orang lain.
b.
Situasional,
urutan kejadian yang terbentuk berdasarkan pengalaman orang untuk menilai
sesuatu.
c.
Behavior,
yaitu sesuatu yang dilakukan oleh orang lain.
Ada
dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu :
1.
Persepsi
sosial berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan orang membuat
kesimpulan tentang orang lain dengan cepatberdasarkan penampilan fisik dan
perhatian sekilas.
2.
Persepsi
sosial adalah sebuah proses yang kompleks,orang mengamati perilaku orang lain
dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person,
situasional, dan behaviour.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa persepsi suatu proses aktif timbulnya kesadaran dengan segera terhadap
suatu obyek yang merupakan faktor internal serta eksternal individu meliputi
keberadaan objek, kejadian dan orang lain melalui pemberian nilai terhadapobjek
tersebut. Sejumlah informasi dari luar mungkin tidak disadari, dihilangkan atau
disalahartikan. Mekanisme penginderaan manusia yang kurang sempurna merupakan
salah satu sumber kesalahan persepsi (Bartol & Bartol,1994).
Sifat-Sifat Persepsi
·
Persepsi
bersifat dugaan karena merupakan loncatan langsung pada kesimpulan, karena data
yang kita peroleh mengenai objek lewat penginderaan tidak pernah utuh.
·
Persepsi
bersifat evaluatif karena mencakup unsur seleksi dan penilaian dalam merespon
stimulasi.
·
Persepsi
bersifat kontekstual berarti koteks dalam mempersepsi stimulan sangat
berpengaruh.
Persepsi menurut Psikologi Lingkungan
Penjelasan
mengenai bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungan dapat didasarkan
pada dua cara pendekatan :
a. Pendekatan
yang pertama yaitu
pandangan konvensional. Pendekatan inidiawali dari adanyan rangsang dari luar
diri individu atau yang disebut sebagai stimulus, kemudian individu tersebut
menjadi sadar akan adanya ransang ini melalui penginderaannya yang merupakan
sel-sel saraf reseptor yang peka terhadap bentuk-bentuk energi tertentu,
misalnya cahaya, suara, suhu dan lain-lain. Apabila sumber energi tersebut
cukup kuat untuk merangsang sel-sel reseptor maka terjadilah penginderaan. Jika
sejumlah penginderaan disatukan dan dikoordinasikan di dalam otak, yang
merupakan pusat syaraf yang lebih tinggi, sehingga manusia dapat mengenali dan
menilai objek-objek maka keadaan ini dinamakan persepsi.
b. Pendekatan
yang ke dua adalah
pendekatan ekologik, yaitu individu
tidaklah menciptakan makna-makna dari apa yang diinderakannya karena
sesungguhnya makna itu telah terkandung dalam stimulus itu sendiri dan tersedia
untuk organisme yang siap menyerapnya. Ia berpendapat bahwa persepsi terjadi
secara spontan dan langsung. Jadi, bersifat holistik. Spontanitas itu terjadi
karena organisme selalu mengeksplorasi lingkungannya dan dalam penjajakan itu
ia melibatkan setiap objek yang ada di lingkungannyadan setiap objek
menonjolkan sifat-sifatnya yang khas untuk organisme bersangkutan.
Bias / Kesesatan dalam Persepsi Sosial
Ada
beberapa bias atau kesesatan dalam persepsi sosial, antara lain yaitu:
1.
Hallo Effect, merupakan kecenderung untuk
mempersepsi orang secara konsisten. Hallo effect ini secara umum terjadi karena
individu hanya mendasarkan persepsinya hanya pada kesan fisik atau
karakteristik lain yang bisa diamati.
2.
Forked Tail Effect (negative hallo), merupakan lawan dari hallo effect,
yaitu melebih-lebihkan kejelekan orang hanya berdasarkan satu keadaan yang
dinilai buruk.
B.
ATRIBUT SOSIAL
Pengertian Atribusi Sosial
Atribusi
sosial adalah suatu proses dimana seseorang mengidentifikasi penyebab dari
tingkah laku orang lain, dan kemudian memperoleh pengetahuan mengenai
trait-trait yang stabil mau pun faktor disposisi sebagai penyebab munculnya
tingkah laku tersebut. Atribusi kausal adalah proses yang menjelaskan
terjadinya suatu kejadian atau proses menarik kesimpulan mengenai
penyebab-penyebab dari suatu peristiwa.
Teori – Teori Atribusi
Beberapa
teori yang berkaitan dengan atribusi.
1.
Corespondance
Inference (Penyimpulan Terkait)
Menurut
teori yang berfokus pada target ini, perilaku orang lain merupakan sumber
informasi yang kaya. Jadi kalau kita mengamati perilaku orang lain dengan
cermat, maka kita dapat mengambil berbagai kesimpulan.
2.
Concious
Attentional Resources (Teori Sumber Perhatian dalam Kesadaran)
Teori
ini menekankan pada proses yang terjadi dalam kognisi orang yang melakukan
persepsi (pengamat). Gilbert, dkk. (1988) mengemukakan bahwa atribusi harus
melewati kognisi. Dalam proses kognisi ada tiga tahap :
a.
Kategorisasi
b.
Karakterisasi
c.
Koreksi
3.
Teori
Atribusi Internal dan Eksternal dari Kelley
Ada
tiga hal yang harus diperhatikan untuk menetapkan apakah suatu perilaku
beratribusi internal atau eksternal, yaitu : .
a.
Konsensus,
Apakah suatu perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada pada situasi
yang sama.Makin banyak yang melakukan makin tinggi konsensus dan semakin
sedikit yang melakukanya,makin rendah konsensus
b.
Konsistensi,
Apakah pelaku bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang sama dalam situasi
yang sama.Konsisten tinggi,kalau pelaku melakukan perilaku yang sama.Konsisten
rendah kalau pelaku tidak melakukan perilaku yang sama dalam situasi yang sama
tersebut.
c.
Distingsi
atau kekhususan, Apakah pelaku bersangkutan cenderung melakukan perilaku yang
sama di masa lalu dalam situasi yang berbeda – beda.Distingsi tinggi kalau
“ya”,distingsi rendah,kalau “tidak”
Dari
ketiga informasi diatas, dapat ditentukan atribusi pada seseorang. Menurut
Kelley ada 3 atribusi, yaitu:
1.
Atribusi
Internal, dikatakan perilaku seseorang merupakan gambaran darikarakternya bila
distinctivenessnya rendah, konsensusnya rendah, dan konsistensinya tinggi.
2.
Atribusi
Eksternal, dikatakan demikian apabila ditandai dengan distinctiveness yang
tinggi, consensus tinggi, dan konsistensinya juga tinggi.
3.
Atribusi
Internal-Eksternal, hal ini ditandai dengan distinctiveness yang tinggi,
consensus rendah, dan konsistensi tinggi.
Kesalahan Atribusi
-
Fundamental Error : kencenderungan untuk
mengindikasikan faktor internal sebagai penyebab perilaku.
-
Efek pelaku–pengamat (actor-observer
effect) :
kencenderungan untuk mengatribusikan perilaku kita sendiri sebagai situasional
dan mengatribusikan perilaku orang lain pada faktor internal.
-
Self serving bias : kecenderungan untuk mengatribusikan
hasil perilaku kita yang positif (misalnya keberhasilan studi) pada faktor
internal (misalnya karena saya pandai dan gigih) tetapi mengatribusikan hasil –
hasil negatif kita pada faktor eksternal (misalnya mata kuliah berat dan
dosennya sukar di pahami).
Bias dalam Atribusi
Seringkali
proses atribusi menjadi bias karena faktor pengamat sebagai ilmuwan naïf
menggunakan konsep dirinya ke dalam proses tersebut dan juga karena faktor-faktor
yang berhubungan dengan orientasi pengamatan. Beberapa bias yang dikenal dalam
atribusi adalah :
1.
Bias Fundamental Attribution, dalam memberikan atribusi pada
pelaku, pengamat sering terlalu banyak menekankan factor disposisi daripada
factor situasi. Penekanan yang tidak seimbang dari dua sisi akan menyebabkan
bias dalam kesimpulan. Di sisi lain focus pengamatan memang lebih banyak pada
perilaku, tetapi bukan berarti factor situasional kurang berperan. Bias
atribusi fundamental ini pertama kali dikemukakan oleh Lee Ross
2.
Bias Self-Serving Ada kecenderungan umum pada setiap
orang untuk menghindari celaan karena kesalahannya. Sayangnya cara yang dipilih
untuk menghindari keadaan itu sering tidak tepat, yaitu dengan menimpakan pada
situasi di luar dirinya. Seorang yang gagal menjadi juara sering menimpakan
kesalahan pada panitia atau arena. Sedangkan bila mendapat keberhasilan dia
lebih menekankan bahwa hal itu adalah karena kemampuannya.
3.
Efek Pelaku – Pengamat Bias ini terutama muncul
pada hubungan antara perilaku dan pengamat yang sudah terjalin baik. Pertama
kali, teori ini dikemukakan oleh Jones dan Nisbet. Pelaku akan menekankan pada
faktor situasional. Sedangkan menurut pengamat, perubahan perilaku lebih banyak
dipengaruhi faktor disposisi. Contohnya adalah hubungan antara seorang guru
dengan siswa. Ketika suatu saat guru memberi nilai jelek pada hasil karangan
murid, kedua orang ini memiliki sudut pandang yang berbeda dalam menilai
kegagalan. Bagi murid kegagalan tersebut disebabkan oleh kesibukannya, gangguan
dari teman, ruang yang panas, atau yang lain. Sedangkan guru cenderung
menimpakan keadaan ini kepada kondisi murid itu sendiri, misalnya kurang
membaca bahan, kurang teliti, kurang ada kemauan dan sebagainya.
4.
Menyalahkan diri sendiri, Tidak jarang pula ditemui seorang
yang terlalu menyalahkan diri sendiri, terutama bila mengalami kegagalan. Orang
yang sering menyalahkan diri sendiri, akan sulit untuk secara objektif memberi
penilaian, sehingga dalam proses atribusi juga sering menyebabkan kebiasaan.
5.
Hedonic Relevance, Pengamat sering kurang objektif dalam
memberikan penilaian terhadap peristiwa yang menyangkut dirinya. Apabila
peristiwa itu menguntungkannya, maka akan menyebabkan penilaian lebih positif.
Sebaliknya bila peristwa tersebut kurang menguntungkan dirinya, penilaian
menjadi condong negatif.
6.
Bias Egosentris, Sering dijumpai pula bahwa orang
menilai dengan menggunakan dirinya sebagai referensi, atau beranggapan bahwa
orang pada umumnya akan berbuat seperti dirinya. Apabila standar diri ini
diterapkan dalam memberi atribusi, maka bias sulit untuk dihindarkan.
C.
KOGNISI SOSIAL
Pengertian Kognisi Sosial
Kognisi
sosial adalah tata cara dimana kita menginterpretasi, menganalisis, mengingat
dan menggunakan informasi tentang dunia sosial. Kognisi sosial dapat terjadi secara
otomatis.
Dalam
bukunya A Theory of Cognitive Dissonance,
L. Festinger mengemukakan bahwa dalam teorinya yang banyak dipengaruhi oleh
teori psikologi lapangan dari K. Lewin, sector-sektor dalam lapangan kesadaran
dinamakannya elemen-elemen kognisi. Eleman-eleman kognisi itu saling
berhubungan yang terdiri dari tiga jenis hubungan, yaitu hubungan yang tidak
relevan, hubungan yang konsonan, dan hubungan yang disonan.
Hubungan
yang ideal dalam struktur kognisi setiap manusia adalah kondisi konsonan, yaitu
jika antara dua elemen ada hubungan yang relevan, hubungan itu hendaknya tidak
saling bertentangan. Dalam hal ini terjadi hubungan yang disonan. Jenis upaya
yang pertama adalah mengubah eleman prilaku. Upaya yang kedua adalah mengubah
elemen kognisi lingkungan. Upaya yang ketiga adalah menambah elemen baru
kognisi baru sehingga elemen kognisi yang ada m,endapat dukungan dari elemen
yang baru.
Jalan Pintas Mental
Dalam
proses kognisi manusia sering kali menggunakan jalan pintas mental (heuristics)
untuk sampai pada suatu kesimpulan atau atribusi. Jalan pintas itu digunakan
untuk mempercepat proses dan menghemat energi. Dengan kata lain heuristics
dalam mental digunakan demi efisiensi. Berfikir jalan pintas mengandung bahaya
kesalahan penyimpulan. Walaupun demikian, hal tersebut secara otomatis biasa
dilakukan karena biasanya bahasa dan tidak salah.
Baberapa
faktor dalam berfikir jalan pintas :
1.
Representasi,
Kita harus menetapkan atribusi bedasarkan informasi yang tidak lengkap.
Disinilah kita berfikir jalan pintas. Menurut rekaman informasi-informasi dalam
ingatan kita.
2.
Pengutamaan
(priming), Pikiran jalan pintas dipengaruhi oleh factor pengalaman yang paling
baru (yang baru saja terjadi).
3.
Pengabaian
rata-rata, Berbeda dengan repersentasi, pengfabain rata-rata justru tidak
memperhatikan cirri-ciri yang umum berlaku. Berfikir jalan pintas disini
didasarkan pada informasi khusus tentang satu orang saja.
4.
Ketersediaan
informasi, Jika kepada orang Amerika diberi pertanyaan mana yang lebih besar,
Indonesia atau Bali? Jawaban mereka adalah Bali, karena mereka mempunyai
informasi lebih banyak tentang Bali, daripada Indonesia.
Berfikir ilusi (Illusory thinking)
Dalam
psikologi, ilusi berarti kesalahan persepsi. Ilusi dalam persepsi social
bersumber pada proses kognisi manusia.
1.
Ilusi
tentang korelasi,
McFarland
dkk, dalam penelitian terhadap sejumlah wanita menemukan bahwa sebagian dari
mereka merasa bahwa ada hubungan antara suasana hatinya dengan siklus haid
mereka. Padahal, dalam kenyataannya perubahan-perubahan suasana hati itu
terjadi tanpa ada hubungannya dengan siklus haid mereka. Kesimpulannya adalah
bahwa para wanita tersebut mempunyai ilusi tentang hubungan antara haid dengan
suasana hati.
2.
Ilusi
control,
Orang
merasa seakan-akan ia dapat mengendalikan lingkungannya, padahal sebenarnya
tidak.
3.
Penilaian
yang terlalu percaya diri,
Ilusi
kognisi ini disebabkan orang selalu ingin menilai kepercayaan-kepercayaannya,
tetapi tidak mau menerima masukan yang tidak sesuai dengan kepercayaannya itu.
Aspek-aspek dasar kognisi sosial
1.
Memperhatikan
yang inkonsisten
Segala
yang tidak konsiten lebih diperhatikan daripada yang konsisten. Dalam
peristilahan Festinger, inkonsitensi inilah yang menimbulkan gisonansi
kognitif. Inkonsitensi ini menyebabkan perubahan penilaian atau atribusi dalam
hubungan antara pribadi.
2.
Memperhatikan
yang negatif
Hilang
atau tidak diperhatikannya elemen-elemen kognisi yang positif akan merugikan
atau mempersulit hubungan antar pribadi. Namun, kecenderungan ini sering
dilakukan oranmg karena dengan memperhatikan yang negatif orang menjadi lebih
waspada terhadap bahaya atau kerugian yang mungkin terjadi.
3.
Keraguan
karena motivasi
Teori
K.Lewin, seseorang berada dalam konflik mendekat-mendekat dengan elemen A
mempunyai sedikit lebih banyak valensi positif dari elemen B. Sedikit tambahan
valensi positif pada elemen A sudah cukup untuk muembuat seseorang itu memilih
A.
4.
Berfikir
kontrafaktual
Informasi
konsistern atau konsonan dengan akibat perbuatan mempengaruhi pendapat
seseorang. Bila awalnya kontrafaktual atau inkonsisten atau disonan membuat
reaksi seseorang berbeda.
5.
Pribadi
anda adalah apa yang ada miliki
Kadang-kadang
benda-benda tertentu sengaja dimiliki seseorang untuk menciptakan citra diri
tertentu. Kecenderungan orang untuk menilai orang lain berdasarkan orang lain
berdasarkan kepemilikannya ini sesuan dengan teori atribusi penyimpulan
terkait, bahwa apa yang dilakukan seseorang merupakan sumber untuk memperoleh
informasi tentang orang itu.
PEMBUATAN KEPUTUSAN
Salah
satu fungsi yang sangat penting dari proses kognisi adalah pengambilan
keputusan. Teori psikologi sosial yang terbaru sudah dapat mengitung proses
pengambilan keputusan secara lebih kuantitatif. Keuntungan teori prospek ini
psikologi dapat meramalkan perilaku secara lebih tepat dan dapat menyarankan
kepada seseorang untuk mengambil pilihannya yang paling tepat jika kita dapat
mengetahui secara akurat berbagai elemen dalan kogisi. Teori prospek (Khaneman
& Tversky) adalah teori yang mendeskripsikan bagaimana individu mengambil keputusan.
Menurut teori prospek, keputusan diambil melalui dua tahap, kognitif. Dalam
mrngevaluasi, individu diandaikan memakai fungsi nilai yang memiliki tiga
karakteristik.
1.
Konsekuensi
diterjemahkan kedalam deviasi dari suatu titik refrensi yang umumnya berupa
status quo.
2.
Individu
menilai besarnya keuntungan atau kerugian berdasarkan prinsip psikofisik.
3.
Respon
terhadap kerugian jauh lebih ekstrim daripada respon mendapat keuntungan.
Pada
prinsipnya fungsi nilai menterjemahkan konsekuensi objektif menjadi nilai subjektif
dari konsekuensi. Teori prospeh juga mengajukan fungsi yang pada prinsipnya
menerjemahkan probabilitas yang menyertai konsekuensi menjadi milai subjektif
dari probabilitas. Dengan demikian, nilai total dari sebuah alternative adalah
nilai subjektif konsekuensi dengan diberi bobot nilai subjektif dari
probabilitasnya.
AFEK DAN KOGNISI
Afek
adalah perasaan, jika afek ini berlangsung lebih lama dan intensif dinamakan
emosi dan jika emosi ini berkelanjutan dan tak kunjung hilang dinamakan manis
(kalau afeknya senang) atau depresi (kalau afeknya sedih). Kognisi dapat
mempengaruhi afek sebagai rangsang dari dalam (internal stimulus), sama halnya
dengan pengruh rangsang dari luar (eksternal stimulus).
Hakikat emosi
Dalam
teori yang paling klasik (teori Cannon Bard) emosi timbul bersama-sama dengan
reaksi fisiologik. Teori kedua adalah yang berorientasi pada rangsangnya.
Reaksi fisiologik dapat saja sama, tetapi juka rangsangnya menyenangkan,
namanya emosi senang, sebaliknya jika rangsangan membahayakan, emosi yang
timbul dinamakan tahu (Schachter & Singer, 1962). Teori yang ketiga
dinamakan teori James / Lange. Dalam teori ini emosi timbul setelah terjadinya
reaksi psikologi.
Afek Pengaruhi Kognisi
Afek
dapat mempengaruhi kognisi. Ketika afeknya positif, segalanya dalam kognisi
menjadi positif. Namun, jika afeknya negatif segalanya menjadi negatif. Afek
juga berpengaruh pada memori (ingatan). Afek yang positif bepengaruh pada
memori tentang peristiwa-peristiwa yang positif, sedangkan afek yang negatif bepengaruh
pada memori tentang peristiwa-peristiwa yang negatif.
Kognisi Pengaruhi Afek
Kognisi
mempengaruhi afek juga melalui skema kognisi. Kalau sebuah peristiwa termasuk
kedalam golongan tertentu, afek yang timbul mengikuti penggolongan itu. Selain
itu, simpilan dalam kognisi juga mempengaruhi afek kita. Faktor selanjutnya
yang mempengaruhi afek dari kognisi adalah perkiraan atau harapan akan dampak
dari perilaku tertentu.
DI INDONESIA
Teori
Kognitif mungkin adalah yang paling dapat diterima untuk menerangkan perilaku
sosial dibandingkan dengan teori psikoanalisis dan teori behaviorisme. Teori
kognitif harus memproses segala informasi yang diterimanya dari penginderaan
melalui kesadaran sebelum dijadikan respon atau reaksi. Walaupun demikian
penerapan teori kognisi dalam hubungan dengan masyarakat di Indonesia harus
dilakukan dengan hati-hati karena adanya perbedaan struktur kognisi pada
manusia Timur dari manusia Barat. Perbedaan yang pertama adalah pada
kategorisasi itu sendiri karena norma yang berbeda. Perbedaan yang kedua adalah
bahwa di Timur, tidak ada batas yang tegas antara satu golongan dengan golongan
yang lain, sehingga pada saat yang bersamaan dua kategori atau lebih dapat
dijadikan satu. Perbedaan ketiga adalah dalam perkembangan diri “aku”. Konsekuensi
dari perbedaan struktur dan isi kognisi ini adalah bahwa selalu akan terjadi
kemungkinan kesalahpahaman antara dua pihak kalau masing-masing menggunakan
struktur kognisinya sendiri dan mereka sama-sama tidak mengerti struktur
kognisi pihak yang lain.
Sporting 100: How to Bet on Sports toto
BalasHapusThe first and most important part 서귀포 출장안마 of your sports bet 군산 출장마사지 is 경상북도 출장마사지 understanding how to bet on 토토사이트 your favorite team. Betting on your favorite team 문경 출장마사지 is a great way to